Kamis, 03 Januari 2013

Teori Belajar dan Implikasinya Terhadap Evaluasi Pendidikan


TEORI BELAJAR
Teori belajar merupakan teori yang dikemukakan oleh para peneliti dalam upaya mendeskripsikan bagaimana manusia belajar. Dengan demikian akan membantu manusia dalam memahami karakteristik serta pendekatan-pendekatan dalam proses belajar. Secara garis besar terdapat tiga teori belajar, yaitu: Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme. Namun belum ada aturan yang pasti tentang teori mana yang paling baik dan paling benar akan tetapi yang lebih penting adalah teori mana yang lebih cocok diterapkan pada kondisi lingkungan tertentu. Sehingga kesimpulannya dari ketiga teori tersebut adalah sama-sama bisa diterapkan pada kondisi lingkungan tertentu yang paling sesuai dengan karakteristik belajarnya.
1. BEHAVIOURISME
. Behaviorisme terdiri dari kata Behave yang berarti berperilaku dan Isme yang berarti aliran. Dilihat dari arti susunan katanya, teori belajar Behaviorisme menitikberatkan pada perubahan tingkah laku. Karakteristik esensial dari teori belajar ini adalah pemahaman terhadap kejadian-kejadian yang terjadi di suatu lingkungan untuk memprediksi perilaku seseorang, bukan pikiran, perasaan, ataupun faktor internal lain yang terjadi pada diri seseorang tersebut.
Teori belajar ini terfokus pada munculnya respon terhadap berbagai stimulus. Stimulus adalah segala sesuatu yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon adalah segala tanggapan atau reaksi yang diberikan siswa terhadap stimulus yang diberikan. Seseorang dikatakan belajar apabila mengalami perubahan tingkah laku. Oleh karena itu pengukuran terhadap stimulus dan respon merupakan hal yang penting. Disamping itu juga ada faktor lain yang dianggap penting yaitu penguatan (Reinforcement), apabila penguatan ditambah (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat, dan sebaliknya.
Teori Behaviorisme cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shapping yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Disiplin merupakan hal yang harus dijunjung tinggi. Kegagalan dianggap sebagai seuatu kesalahan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Beberapa tokoh yang memberikan pengaruh kuat pada teori belajar ini adalah:
a. Teori Classical Coditioning Ivan Pavlov
Secara garis besar Pavlov mencermati arti pentingnya penciptaan kondisi atau lingkungan yang diperkirakan dapat menimbulkan respon pada diri siswa. Pada percobaannya Pavlov mencermati seekor anjing. Dia berharap agar air liur anjing itu bisa keluar bukan karena adanya suatu makanan akan tetapi karena adanya kondisi tertentu yang sengaa dibuat.
Implikasi teori ini dalam pembelajaran dapat diilustrasikan sebagai berikut: jika anak diminta untuk menghafal suatu ayat oleh seorang guru, akan tetapi pada hasil akhir (rapor) anak tersebut tidak mendapat nilai yang lebih dibanding teman-temannya, kelak jika guru tersebut meminta kembali untuk menghafal sesuatu maka anak tersebut akan malas menghafal karena tau bahwa hafal maupun tidak nilainya akan tetap sama. Sebaliknya apabila pada saat guru meminta siswa untuk menghafal ayat dan didepan disediakan hadiah (pensil, penggaris, buku, dan sebagainya) maka dengan sendirinya anak akan berusaha keras untuk menghafal untuk mendapatkan hadiah.
b. Teori Stimulus-Response John B. Watson
Pendekatan teori ini lebih menekankan pada peran stimulus dalam menghasilkan respon karena pengkondisian, mengasimilasikan sebagian besar atau seluruh fungsi dari refleks. Karena itulah Watson dijuluki sebagai pakar psikologi S-R (Stimulus-Response). Dalam percobaannya, Watson mengamati seorang balita yang pada awalnya tidak takut pada tikus. Ketika suatu saat balita tersebut memegang tikus, dia mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita tersebut menjadi takut dengan suara tiba-tiba dan keras sekaligus takut dengan tikus. Akhirnya tanpa suara keras pun balita tersebut takut dengan tikus.
Implikasi teori ini dalam pembelajaran dapat diilustrasikan sebagai berikut: jika guru menulis soal di papan tulis kemudian meminta siswa untuk mengerjakannya, seorang siswa maju kemudian mengerjakan soal akan tetapi jawaban yang diberikan salah. Guru tersebut langsung mencela tanpa menghargai usaha siswa. Suatu saat apabila guru tersebut meminta siswa untuk maju mengerjakan soal maka siswa akan takut untuk mengerjakan soal.
c. Teori Law of Effect Edward Thorndike
Dalam eksperimennya, Thorndike mengemukakan prinsip yang ia sebut hukum efek. Hukum ini menyatakan bahwa perilaku yang diikuti kejadian yang menyenangkan, lebih cenderung akan terjadi lagi di masa mendatang. Sebaliknya, perilaku yang diikuti kejadian yang tidak menyenangkan akan memperlemah, sehingga cenderung tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Implikasi teori ini dalam pembelajaran dapat diilustrasikan sebagai berikut:
clip_image001
Kondisi/lingkungan
d. Teori Operant Conditioning B.F. Skinner
Skinner mengidentifikasi sejumlah prinsip mendasar dari Operant Conditioning yang menjelaskan bagaimana seseorang belajar perilaku baru atau mengubah perilaku yang telah ada. Prinsip-prinsip utamanya adalahreinforcement (penguatan kembali), punishment (hukuman), shaping(pembentukan), extinction (penghapusan), discrimination (pembedaan), dangeneralization (generalisasi).
2. KOGNITIVISME
Menjelang berakhirnya tahun 1950-an banyak kritik yang muncul terhadap behaviorisme. Kognitivisme tidak seluruhnya menolak gagasan behaviorisme, namun lebih cenderung pada perluasannya. Pakar psikologi kognitif modern berpendapat bahwa belajar melibatkan proses mental yang kompleks, termasuk memori, perhatian, bahasa, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah.
Beberapa tokoh yang berperan dalam teori belajar ini adalah:
- Tollman yang menunjukkan bahwa belajar adalah lebih dari sekedar memperkuat respon melalui penguatan
- Jerome Bruner yang memiliki gagasan berdasarkan kategorisasi “memahami adalah kategorisasi, konseptualisasi adalah kategorisasi, belajar adalah membentuk kategori-kategori, membuat keputusan adalah kategorisasi.”
- Noam Chomsky yang berpendapat bahwa otak manusia memiliki “hardware” untuk bahasa sebagai hasil dari evolusi
- Piaget yang memiliki asumsi dasar kecerdasan manusia dan biologi organism berfungsi dengan cara yang sama. Keduanya adalah sistem terorganisasi yang secara konstan berinteraksi dengan lingkungan
- Vygotsky yang berpendapat bahwa ada perbedaan antara konsep dan bahasa ketika seseorang masih belia, tetapi seiring berjalannya waktu keduanya akan menyatu. Bahasa mengekspresikan konsep, dan konsep digunakan dalam bahasa.
Kognitivisme sering mengambil contoh pemrosesan informasi dalam komputer sebagai model (teori pengolah informasi). Belajar dipandang sebagai proses dari input, dikelola dalam short term memory, dan dikirim dalam long term memory untuk dapat dipanggil pada saat diperlukan. Belajar adalah mengubah pemahaman dan struktur menjadi lebih teratur dan jelas karena adanya otak yang mengolah informasi.
Implikasi teori belajar kognitif dalam pembelajaran adalah guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan siswa sangat dipentingkan, guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks, guru menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatian perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa. Guru juga harus mempersiapkan materi/bahan ajar yang mudah dicerna oleh siswa agar siswa lebih mudah dalam mengolah informasi (belajar).
3. KONSTRUKTIVISME
Dalam perkembangannya, arus kognitivisme bergeser ke arah konstruktivise. Konstruktivisem memandang bahwa belajar melibatkan konstruksi pengetahuan seseorang dari pengalamannya sendiri oleh dirinya sendiri. Siswa dipandang sebagai makhluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Guru yang dipandang sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, hendaknya mengetahui tingkat kesiapan anak dalam menerima pelajaran, termasuk memilih metode yang tepat dan sesuai dengan tahap perkembangan anak.
Apabila Behaviorisme dan kognitivisme memandang pengetahuan sebagai suatu yang eksternal dan proses belajar sebagai kegiatan internalisasi pengetahuan maka konstruktivisme beranggapan bahwa pebelajar bukanlah bejana yang kosong untuk selanjutnya diisi dengan pengetahuan. Melainkan, pebelajar adalah organisme aktif yang berusaha menciptakan makna. Pebelajar memilih cara belajarnya sendiri. (Driscoll: 2000)
Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Konsep model pembelajaran konektivisme mempunyai beberapa aliran, yaitu:
a. Pendekatan Piaget
b. Konstruktivisme Pribadi
c. Konstruktivisme Radikal
d. Konstruktivisme Sosial
Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis menurut beberapa literatur yaitu :
- Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya
- Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia
- Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman
- Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain
- Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah. (Yuleilawati, 2004 :54)
Sedangkan menurut Siroj (http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/43/rusdy-a-siroj.htm) ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis adalah :
- Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
- Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
- Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
- Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
- Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
- Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau belajar.
IMPLIKASI TEORI BELAJAR TERHADAP KONSEP EVALUASI PENDIDIKAN
1. BEHAVIORISME
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yaitu berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi diantara stimulus dan respons itu dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak bisa diamati. Hasil belajar adalah hal yang sangat menentukan apakah seseorang dikatakan berhasil atau malah sebaliknya yaitu gagal. Hal ini tanpa melihat proses untuk memperoleh hasil belajar itu sendiri.
clip_image001[6]
Prinsip-prinsip teori behaviorisme yang banyak dipakai didunia pendidikan ialah (Harley & Davies, 1978 dalam Toeti, 1997):
  • Proses belajar (KBM) dapat berhasil dengan baik apabila si pebelajar ikut berpartisipasi secara aktif didalamnya
  • Materi pelajaran (KBM) dibentuk dalam bentu unit-unit kecil dan diatur berdasarkan urutan yang logis sehingga si pebelajar mudah mempelajarinya
  • Tiap-tiap respon (kompetensi) perlu diberi umpan balik secara langsung, sehingga si pebelajar dapat mengetahui apakah respon yang diberikan telah benar atau belum
  • Setiap kali si pebelajar memberikan respons yang benar maka ia perlu diberi penguatan. Penguatan positif ternyata memberikan pengaruh yang lebih baik daripada penguatan negative (evaluasi)
clip_image003
Oleh karena teori behavioristik memahami bahwa seseorang dikatakan belajar apabila mengalami perubahan tingkah laku, maka evaluasi dapat dilakukan dengan cara melihat perubahan tingkah laku yang ditunjukkan oleh siswa. Apabila perubahan tingkah lakunya besar (menunjukkan hasil belajar yang baik) maka dikatakan bahwa siswa tersebut berhasil, akan tetapi apabila perubahan tingkah laku yang ditunjukkan siswa sedikit (hasil belajar tidak sesuai dengan target) maka dikatakan suatu kesalahan. Dengan demikian apabila hasil belajar tidak sesuai dengan yang diharapkan maka guru akan mengadakan evaluasi terhadap masukan (stimulus) agar respon yang diberikan siswa lebih baik (tanpa mempertimbangkan proses belajar).
Evalusi menuntut satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi juga dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran, biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan belajar dengan menekankan pada evaluasi individu.
Kelebihan dari teori ini adalah siswa dituntut untuk berusaha mencapai target yang ditentukan (kurikulum, nilai, dan sebagainya), dengan konsekuensi apabila target terpenuhi maka dikatakan berhasil dan patut mendapatkan hadiah sedangkan bila target tidak terpenuhi maka siswa dikatakan gagal dan patut mendapat hukuman.
2. KOGNITIVISME
Dalam teori kognitivisme, belajar merupakan keterlibatan penguasaan atau penataan kembali struktur kognitif dimana seseorang memproses dan menyimpan informasi. Belajar juga merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek kejiwaan lainnya dimana pengetahuan yang diterima disesuaikan dengan struktur kogniitf yang sudah dimiliki seseorang berdasarkan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Teori ini lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar.
Dengan memahami konsep belajar demikian, maka evaluasi yang dilakukan pun berbeda dengan behaviorisme. Dalam behavioristme evaluasi dilakukan setelah pembelajaran selesai dan bersifat individu, namun dalam kognitivisme ini evaluasi dilakukan tidak harus menunggu materi pembelajaran selesai dengan kata lain ditengah-tengah kegiatan pembelajaran guru sudah bisa melakukan proses evaluasi. Jawaban yang dibutuhkan pun tidak terbatas pada satu jawaban pasti akan tetapi siswa dapat lebih kreatif menjabarkan pengetahuan yang dimilikinya selama ini.
3. KONSTRUKTIVISME
Evaluasi pada teori konstruktivisme ini digunakan untuk menggali munculnya berfikir divergent, pemecahan ganda, dan bukan hanya satu jawaban yang benar. Selain itu evaluasi disini juga merupakan bagian utuh dari pembelajaran dengan cara memberikan tugas-tugas yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari yang menekankan pada keterampilan proses.
Evaluasi yang dilakukan hamper sama dengan teori kognitivisme. Ditengah-tengah proses pembelajaran guru bisa mengajukan pertanyaan untuk mengevaluasi pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan. Berbagai macam metode dapat diterapkan oleh guru, antara lain: Tanya jawab, penyelidikan/menemukan, dan komunitas belajar.
Kegiatan bertanya sangat berguna dalam pembelajaran yang produktif seperti dikemukakan
Nurhadi (2003: 14) berikut ini:
1. menggali informasi, baik administrasi maupun akademis
2. mengecek pemahaman siswa
3. membangkitkan respon kepada siswa
4. mengetahui sejauh mana keinginan siswa
5. mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
6. memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
7. membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa
8. menyegarkan kembali pengetahuan siswa
Sesuai dengan peranan guru dalam teori konstruktivisme ini adalah guru sebagai fasilitator sehingga guru tidak selalu memberikan materi di kelas, siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran. Sehingga dalam KBM terjadi timbal balik antara guru dengan siswa yang menyebabkan aspek penilaian guru menjadi semakin banyak dan tidak terpacu pada hasil akhir (ujian).
Kesimpulan:
implikasi ketiga teori belajar yang telah dijelaskan (behaviorisme, kognitivimse, konstruktivisme) terhadap evaluasi pendidikan adalah bahwa kurikulum yang dikembangkan hendaknya tidak terlalu ketat dalam arti dapat mengembangkan kreatifitas dan produktifitas siswa, evaluasi hendaknya tidak hanya diukur dari hasil belajar siswa (rapor) akan juga mengacu pada proses belajar dimana siswa dituntut aktif dan memiliki semangat belajar tinggi, guru hendaknya memahami karakteristik belajar siswa karena setiap siswa memiliki perbedaan dalam kecepatan menangkap ilmu pengetahuan serta memiliki caranya sendiri untuk belajar. Dengan mengetahui berbagai teori belajar diharapkan pendidikan di Indonesia dapat terus dievaluasi sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan yang ditentukan dengan baik.

Sumber:
fajarss.blog.uns.ac.id/files/2010/04/teori-belajar.pdf
jurnal.ump.ac.id/_berkas/jurnal/11.pdf
mardikanyom.tripod.com/Konektivisme.pdf
indanamardiani.files.wordpress.com/2010/04/artikel-1.pdf

Rabu, 02 Januari 2013

FILSAFAT WITTGEINSTEIN


Filsafat Bahasa Biasa (Wittgenstein)


BAB I
PEMBAHASAN
A.    Filsafat Bahasa Biasa
Wittgenstein adalah penulis Tractatus Logico-Philosophicus yang merupakan sumber inspirasi kaum logis-positivis dalam hal analisis antara pernyataan yang bermakna dengan pernyataan yang tidak bermakna  Filsafat analitik sesungguhnya lahir sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan filsafat pada saat itu yang didominasi oleh tradisi idealisme, terutama kalangan teolog yang sangat mengagungkan pentingnya metafisika.
Wittgenstein dikenal luas sebagai tokoh filsafat bahasa yang mengalami dua masa pergeseran filosofis, sehingga sering disebut sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Jika pada masa Wittgenstein I, yang ditandai dengan karyanyaTractacus Logico-Philosophicus, Wittgenstein begitu ketat memaparkan apa yang diistilahkan sebagai “bahasa logika”, yang mengidealisasikan keharusan kesesuaian (uniformitas) logis antara struktur bahasa dengan stuktur realitas, agar bahasa dan maknanya dapat dipahami secara logis, maka pada Wittgenstein II, yang ditandai dengan karyanya Philosphical Investigations, Wittgenstein “seolah” membantah pemikirannya sendiri dengan menyatakan bahwa setiap kata dalam bahasa bisa memiliki keragaman (poliformitas) makna sesuai dengan keragaman konteks yang mendasari penggunaan kata tersebut. Inilah yang dikenal luas dengan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) yang berpuncak pada istilah “tata permainan bahasa” (language game).

B.     Wittgenstein I dan Bahasa Logika
Dalam pengantar Tractacus, Wittgenstein menyoroti persoalan besar kekacauan bahasa sebagai biang kerok betapa. Kekacauan bahasa itu disebabkan oleh kesalahpahaman dalam penggunaan bahasa logika, yang mengakibatnya tidak adanya “tolak-ukur” yang dapat menentukan apakah suatu ungkapan filsafat itu bermakna dan kosong belaka. Karena itu, menurut Wittgenstein, harus dibuat kerangka bahasa logika sebagai dasar dalam berfilsafat.
Apa yang dimaksud dengan bahasa logika oleh Wittgenstein?
1.      proposisi sebagai alat bahasa. Proposisi diterjemahkan sebagai “gambaran realitas, jika saya memahami proposisi itu berarti saya mengetahui bentuk-bentuk peristiwa/keadaan-keadaan faktual yang dihadirkan melalui proposisi tersebut…dan saya dapat dengan mudah memahami proposisi itu tanpa perlu dijelaskan lagi pengertian di dalamnya.”Begitu prinsipilnya proposisi di mata Wittgenstein, baginya, ia merupakan hal mutlak yang diperlukan untuk mendukung “sebuah ungkapan yang bermakna” (dan itulah yang dimaksud proposisi) yang menunjuk pada suatu bentuk peristiwa atau pun keberadaan suatu peristiwa (states of affairs).
Dengan demikian, sebuah ungkapan baru bisa diterima sebagai proposisi bila berhasil menunjukkan pengertian tertentu dan terang tentang suatu realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan pada proposisi itu akan bisa mengatakan “iya” atau tidak” untuk menyetujui realitas yang dikandungnya. Ini mengandung konsekuensi bahwa ungkapan atau penyataan filsafat apa pun yang tidak memenuhi syarat proposisi tersebut harus dinyatakan sebagai tidak bermakna karena gagal logika, bukan “benar atau salah”, lantaran menjadi upaya yang sia-sia belaka untuk memahami suatu ungkapan yang tidak logis.
2.      Fakta yang dikandung realitas. Sebagaimana Russel yang mengenalkan istilah isomorfi (kesesuaian), Wittgenstein meyakini bahwa diperlukan hubungan mutlak antara bahasa (proposisi) dengan realitas atau dunia fakta.

Disinilah kita harus menggunakan bahasa logika. suatu bahasa baru bisa dinyatakan memenuhi bahasa logika yang sempurna apabila mengandung aturan sintaksis yang terang (proposisi) dan mempunyai symbol.
Tractatus mendasarkan pada aspek semantik bahasa (logika bahasa) menemui banyak keterbatasan philosiphical investigation merupakan bentuk filsafat biasa (ordinary language)

C.    Wittgenstein II: Bahasa Biasa dan Tata Permainan Bahasa (Language Game)
Pada era Wittgenstein II, karya popular Wittgenstein yang menandai pergeseran filosofisnya adalah Philosophical Investigations, yang ditulis dengan gaya yang sangat longgar, cenderung sintetik, bahkan dekat dengan cerita detektif, yang diterbitkan dua tahun setelah kematiannya. Wittgenstein II sangat terkenal dengan semboyannya: “Makna setiap kata tergantung penggunaannya dalam bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaannya dalam kehidupan.”
Ada dua fase pokok dalam masa Wittgenstein II yang harus diperhatikan untuk mendapatkan pembedaan pemahaman dengan masa Wittgenstein I.
1.      filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy).
Munculnya filsafat bahasa biasa dipicu oleh kegalauan terhadap kegagalan bahasa logika dalam menjelaskan jubelan realitas.
Jika filsafat bahasa logika mengidealkan ketunggalkan makna dalam suatu kata dan proposisi (uniformitas), sementara fakta keseharian memperlihatkan begitu banyak ragam makna yang muncul secara nyata, maka wajarlah kalau lahirnya filsafat bahasa biasa disambut luas untuk menjelaskan persoalan keragaman makna bahasa itu (poliformitas). Wittgenstein menyadari bahwa kelemahan mendasar bahasa logika ialah tidak mampu menyentuh seluruh realitas yang tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Wittgenstein mengalihkan perhatiannya pada keanekaraman bahasa biasa dan cara penggunaannya, yang memproduksi keragaman makna nyata. 


Jika dibandingkan dengan masa Wittgenstein I, era Wittgenstein II berubah haluan dalam tiga prinsip sekaligus:
1.      Bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan keadaan faktualnya (state of affairs).
2.      Bahwa kalimat mendapatkan maknanya dengan satu cara saja, yakni menggambarkan suatu keadaan faktual.
3.      Setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, meskipun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk dilihat.
Lepas dari persoalan perubahan filosofis yang sangat mendasar pada diri Wittgenstein tersebut, yang pasti melalui Philosophical Investigations, Wittgenstein telah meletakkan pondasi besar tentang filsafat bahasa biasa sebagai antitesis terhadap bahasa logikanya.
2.      tata permainan bahasa (language game).
Wittgenstein menjelaskan tentang tata permainan bahasa melalui ilustrasi berikut:
“Suatu permainan haruslah ditentukan oleh aturan. Kemudian jika dalam permainan catur telah ditentukan sebelumnya bahwa “buah raja” memegang peranan yang sangat penting, maka tentu jelas itu merupakan bagian yang esensial dalam permainan tersebut.
Permainan catur baru akan menemukan maknanya sebagai sebuah permainan jika seperangkat aturannya diindahkan. Tanpa mengikatkan diri pada tata aturan permainan itu, maka permainan catur, dan segala permainan lainnya, akan kehilangan maknanya.
Selain itu, bahasa juga memiliki seperangkat tata aturannya yang darinya kemudian lahir makna yang terang dan jelas tentangnya. Jika tata permainan bahasa ini diabaikan, maka bahasa akan kehilangan makna terangnya. Karena itulah, untuk mendapatkan makna yang terang, bahasa tidak boleh dilepaskan dari tata aturan permainnanya. Wittgenstein mengistilahkan hal ini sebagai tata permainan bahasa (language game).
Jenis penggunaan bahasa ini memiliki tata aturan permainannya sendiri, yang bila dicampur-adukkan, niscaya akan melahirkan kekacauan berbahasa dan pemaknaannya. Apa yang menjadi tata aturan permainan ilmiah, tidak bisa dicampurkan penggunaannya dalam tata aturan permainan bahasa biasa. Demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu, mustahil untuk membangun dan menerapkan sebuah tata aturan permainan bahasa tunggal dan umum. Inilah prinsip utama pemikiran Wittgenstein II, yang sangat bertentangan dengan pemikiran utama Wittgenstein I.
Pemikiran Wittgenstein ini sangat terang muncul dalam pernyataannya: “Makna sebuah kata tergantung penggunaannya dalam sebuah kalimat, makna sebuah kalimat tergantung penggunaannya dalam sebuah bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaanya dalam sebuah kehidupan.”
“Konteks”, inilah sebenarnya padanan maksud yang dibangun oleh Wittgenstein dengan istilah tata permainan bahasa itu. Setiap makna kata dan kalimat sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melandasi penggunaannya dalam kehidupan pengucapnya.
Kata “kiri”, misalnya, jika konteks penggunaannya dilakukan di atas kendaraan umum, maka ia bermakna “stop, berhenti”. Jika ia digunakan dalam konteks sebuah diskusi tentang relasi kapitalisme dan komunisme, ia menunjuk pada makna “komunisme”. Jika ia dipakai dalam konteks studi Islam, ia bermakna “kaum liberalis” yang berhadapan dengan kaum tradisional (kanan). Jika ia dipakai dalam konteks rambu-rambu lalu lintas, ia bisa berarti “belok kiri”. Dan seterusnya.
Lain lagi kasusnya bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks ilmiah yang baku atau disiplin ilmu tertentu. Tata aturan permainannya pun harus diindahkan. Kata ilmiah baku khas Ekonomi, “permintaan dan penawaran” (demand and supply) jika digunakan dalam konteks Ekonomi, jelas maknanya. Tapi jika kata ilmiah baku tersebut digunakan dalam konteks pergaulan sehari-hari, bisa memicu kesalahpahaman arti. Kata “permintaan dan penawaran” tersebut bisa dipahami sebagai “permintaan untuk memenuhi kenduri” dan “penawaran untuk menginap di rumahnya”.
Demikian pula bila sebuah kata atau kalimat dipergunakan sesuai dengan konteks lawan bicara. Misal, kata “Tuhan” bila disampaikan kepada seorang anak kecil akan sangat sulit untuk dimengerti maknanya, sehingga kita membutuhkan kata lain yang lebih pas dengan konteks lawan bicara itu, misal “Pencinta” atau “Bapak”, dll. Misal lain, kata “filsafat”, jika digunakan dalam konteks pembicaraan dengan lawan bicara seorang petani di pelosok jauh, tentu akan sulit dipahami, kecuali bila diganti dengan kata “pemikiran”, “pendapat”, “pandangan”, “paham”, “usul”, dll.
Semua uraian tersebut menunjukkan dengan sangat nyata dan terang bahwa setiap kata atau kalimat sungguh sangat terikat dengan konteks penggunananya, tata aturan permainannya. Kegagalan mengikuti tata aturan permainan bahasa akan menimbulkan kerancuan makna dan bahkan sekaligus kesan makna yang disertakannya.
Atas dasar teori tata permainan bahasa ini, Wittgenstein mengkritik persoalan mendasar dalam dunia filsafat yang memiliki kecenderungan untuk sangat sulit dipahami makna bahasa yang diungkapkan para filosof. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran para filosof tidak memperhatikan tata aturan permainan bahasa ini sehingga menimbulkan kekacauan pemahaman untuk memahami ungkapan-ungkapannya.

Wittgenstein menguraikannya dalam peta berikut:
a.      Pola penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan tata aturan permainan bahasa.
b.      kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan merangkum berbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya. Wittgenstein mengistilahkannya sebagai “craving for generality” (ketunggalan dalam kamajemukan), yaitu kecenderungan mencari sesuatu yang umum pada semua satuan konkret yang dihimpunkan di bawah suatu istilah umum, atau, mencari satu kesatuan pengertian dalam keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan, dan ketunggalan dalam kamajemukan.
c.       kecenderungan melakukan penyamaran pengertian atau pengertian yang terselubung dalam istilah-istilah yang tidak dapat dipahami. Ini semestinya dihindari untuk digunakan agar pemikiran yang dimaksudkan tidak terkungkung dalam keterselubungan maknanya sehingga tidak menjadi sebuah ungkapan yang sia-sia belaka.

D.    Beberapa Kritik terhadap Wittgenstein
Pemikiran filsafat analisis Wittgenstein, khususnya tentang language game, memberikan pengaruh yang sangat besar kepada para pemikir sesudahnya, di antaranya Jean-Francois Lyotard saat meneliti tentang masyarakat industrial. Namun demikian, ada bebarapa kritikan yang penting diajukan dalam studi ini.
1.      Peta yang dibuat Gilbert Ryle dalam “ordinary use” (penggunaan bahasa biasa yang baku) dan “ordinary usage” (penggunaan bahasa biasa dalam kebiasaan sehari-hari) melengkapi konsep language game Wittgenstein tentang pentingnya untuk membangun batasan yang ketat antara bahasa biasa baku dengan bahasa biasa sehari-hari.
2.      kepentingan bahasa. Setiap kata dan bahasa niscaya mengusung kepentingan, apa pun itu. Karena itulah, kata Hans-Georg Gadamer dengan menyetujui Martin Heidegger, memahami sebuah bahasa sesungguhnya merupakan kegiatan menyelidiki proses universal dari tindakan hakikat manusia sebagai sebuah Ada.
Contoh konkret tentang kritik ini ialah bagaimana George Soros, sang panglima kapitalisme global, saat menelurkan istilah: “Faliabilitas, Refleksitas, dan Open Society”. Ketiga istilah Soros ini mengusung kepentingan ekspnasi bisnis globalnya agar masyarakat lokal menerima dengan positif kehadiran “orang-orang luar” untuk melakukan aktivitas ekonomi di wilayahnya.
3.      Sulitnya menerapkan filsafat bahasa biasa dan language gameWittgenstein ke dalam kegiatan pemahaman atau penafsiran teks.

Apa itu teks? Menurut Paul Ricoeur, teks adalah “any discourse fixed by writing.” Istilah “discourse” ala Ricoeur ini menunjuk pada bahasa saat dikomunikasikan, baik dalam bentuk lisan atau tulisan. Untuk kasus discourse dalam bentuk lisan, menurut Ricoeur, tidak akan membutuhkan banyak persoalan, lantaran tercipta komunikasi langsung, terlekat langsung (include) dengan si pengucap, mulai intonasi hingga gesture. Tetapi untuk discourse yang “fixed by writing”, ia tidak memiliki situasi itu, terjadi keterputusan cakrawala penulis dan pembaca. Di sinilah persoalan memahami dan menafsirkan teks begitu rumit. Ricoeur tampak sangat terpengaruh oleh hermeneutika Gadamer tentang pentingnya fusion of horizons(peleburan cakrawala) penulis dan pembacanya untuk mendialogkan teks dan pembacanya.
Sampai di sini, mudah dimengerti mengapa Ricoeur lalu mencerabut teks dari dunia penulis/pengucap/pembicara. Teks adalah korpus yang otonom, mandiri, memiliki totalitasnya sendiri. Karenanya, siapa pun Anda, sangat bisa untuk membaca teks lalu menarik makna darinya secara mandiri, karena dengan cara demikianlah teks itu menyatakan dirinya kepada Anda.

E.     Kalimat dan bahasa
“kita melihat bahwa apa yang kita sebut kalimat dan bahasa tidak mempunyai kesatuan formal yang saya bayangkan, akan tetapi lebih merupakan kelompok struktur yang kurang lebih berhubunganantara satu dengan yang lainnya.” (1983:108)

F.     Esensi Pandangan Wittgenstein
Makna sebuah kata itu adalah penggunaannya dalam bahasa dan bahwa makna bahasa itu adalah penggunaannya dalam hidup”. Terkadang kita tidak dapat menduga bagaimana sebuah kata itu berfungsi. kita hanya harus melihat penggunaannya dan belajar dari padanya.
Filsafat sama sekali tidak boleh turut campur dalam penggunaan bahasa yang sesungguhnya, dan sebenarnya filsafat hanya dapat menguraikannya.

G.    Makna Kata
          Makna sebuah kata adalah tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat, adapun makna kalimat tergantung penggunaannya dalam bahasa, sedangkan makna bahasa tergantung penggunaannya dalam hidup.
Kritik Wittgensten atas Bahasa Filsafat
1.      Kekacauan bahasa filsafat timbul karena penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan aturan permainan bahasa.
2.      Adanya kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan merangkum berbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya.
3.      Penyamaran atau pengertian terselubung melalui pengajuan istilah yang tidak dapat difahami misalnya ‘kebenaran’, ‘ketiadaan’ dsb.
      
H.    Tugas Filsafat
Bahasa Filsafat yang memiliki berbagai kelemahan dapat diatasi manakala kita mengetahui dan menerapkan analisis bahasa dalam  Filsafat. Bahasa Filsafat dapat teratasi bilamana meletakkan tugas filsafat sebagai analisis bahasa. Terdapat dua hal yang terkait dengan tugas filsafat dalam bhasa yakni:
1)      Aspek Penyembuhan (therapheutics), dan
2)      Aspek Metodis

Sedangkan aspek metodologis terbagi lagi atas dua bagian:
1)      Dalam berfilsafat harus meletakkan landasannya pada penggunaan bahasa sehari-hari, dengan memperhatikan secara teliti aturan-aturan permainan bahasa (language games)
2)      Upaya untuk keluar dari kekacauan itu Wittgenstein mengibaratkan seperti seekor lalat yg terjebak dalam sebuah botol bening, seakan berada di dunia luar akan tetapi sebenarnya ia terperangkap dalam ruangan tersebut
Bagi Wittgenstein untuk mengatasi kekacauan tersebut haruslah melalui penampakan jalannya bahasa, yaitu bukannya melalui keterangan baru melainkan menyusun kembali apa yang telah kita ketahui.

FILSAFAT AUSTIN TENTANG BAHASA


pemikiran filsafat bahasa

JOHN LANGSHAW AUSTIN
John Langshaw Austin lahir di Austin Inggris (1911), belajar filologi klasik serta filsafat di Oxford dan menjadi profesor di sana. Waktu perang dunia ia bekerja sebagai militer bagi British Inteligence Corps dan mencapai pangkat letnan kolonel. Biarpun ia sendiri menerbitkan sedikit sekali tulisannya (pemikirannya, namun dengan kuliah-kuliahnya dan diskusi-diskusi berkala, ia mempunyai pengaruh besar sekali dalam kalangan filosofis Oxford. Sesudah ia meninggal pada umur 48 tahun tiga buku diterbitkan oleh  J.O. Urssin dan G.J. Warnock (Philosophical papers 191: edisi yang diperluas 1970) mereka mengumpulkan paper yang pernah dibawakan Austin pada perbagai kesempatan;
sense and sensi bilia (1962) bahkan memuat bahan kuliah yang diberikannya di Oxford dan dalam  How to do thing with words (1962) dicantumkan The William Jame Lecturs yang dibawakannya di Universitas Harvard (Amerika Serikat) pada tahun 1955.
 Di antara filsuf-filsuf Inggris mungkin tidak ada orang yang begitu bersemangat menyelidiki bahasa pergaulan sehari-hari seperti yang dilakukan Austin. Ia yakin bahwa kita dapat belajar banyak dengan memperhatikan bahasa biasa (sehari-hari)
. Bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi kongkrit di mana ucapan-ucapan kita kemukakan dari fenomena-fenomena yang dimaksudkan.

Menurut Austin, tidak sedikit masalah filosofis akan tampak dalam bentuk baru kalau didekati dengan menggunakan alat-alat yang terbenam dalam bahasa sehari-hari. Dalam hal itu Austin selalu menekankan bahwa penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkrit  di mana ucapan-ucapan kita dikemukakan dan juga dari fenomen-fenomen yang dimaksudkan dengannya. J.L.Austin menaruh perhatian pada kelompok ujaran yang tidak dimaksudkan untuk menyatakan benar atau salah. Maka salah satu karyanya yang termasyur adalah perbedaan yang dibuatnya antara:
Austin membedakan jenis ucapan yang sering kita jumpai dalam bahasa pergaulan sehari-hari menjadi dua, yakni:
a)    Ucapan Konstatif (Constative Utterance)
b)    Ucapan Performatif (Performative Utterance)

Ucapan Konstatif adalah ucapan atau tuturan yang kita pergunakan manakala kita menggambarkan suatu keadaan yang faktual. Dalam batas ini pandangan Austin masih sejalan dengan faham atomisme logik dan positivisme logik. Artinya, tidak ada kesulitan bagi kita untuk menerapkan “prinsip pendidikan” guna memeriksa benar atau salahnya suatu ucapan konstatif ini. Jadi dalam setiap ucapan konstatif ini terkandung suatu pernyataan yang memungkinkan situasi pendengar untuk menguji kebenarannya secara empiris atau berdasarkan pengalaman baik secara langsung maupun tidak langsung. Istilah “konstatif” ini dipergunakan Austin untuk menggambarkan semua pernyataan yang dapat dinilai benar atau salahnya. Untuk menjelaskan hal di atas  dapat kita ajukan beberapa contoh:
•    Banyak pedagang mainan anak-anak  di pasar Sekaten.
•    Saya melihat seekor kuda nil di kebun binatang di loka Yogyakarta.
Pernyataan di atas merupakan ucapan konstatif, sebab menggambarkan keadaan faktual atau peristiwa yang dapat diperiksa benar atau salahnya. Ujaran konstatif memiliki daya untuk menjadi benar atau salah. Kita dapat membuktikan kebenaran ucapan seperti itu dengan melihat, menyelidiki, atau mengalami sendiri hal-hal yang telah diucapkan si penutur kepada kita. Oleh karena itu Austin menegaskan bahwa pada hakekatnya ucapan konstatif itu berarti membuat pernyataan yang isinya mengandung acuan histori atau peristiwa nyata.
Ucapan Performatif berbeda dengan ucapan yang dapat diperiksa benar atau salahnya, oleh karena itu pula dapat ditentukan kandungan makna dari ucapan tersebut maka ucapan performatif tidak dapat diperlakukan seperti itu. Karena itulah Austin menegaskan ucapan performatif tidak dapat dikatakan benar atau salah seperti halnya ucapan konstatif melainkan pantas atau tidak (happy or anhappy) untuk diucapkan seseorang. Di dalam ucapan performatif ini peranan si penutur  dengan berbagai konsekuensi yang terkandung dalam isi ucapannya sangat diutamakan. Untuk memperoleh penjelasan yang rinci kita dapat melihat contoh sebagai berikut:
•    “Saya bersedia menerima wanita ini sebagai istri yang sah” tentunya layak apabila diucapkan dalam sebuah upacara perkawinan.
•     “Saya namakan kapal ini Ratu Elisabeth”.
Dari contoh di atas, kita melihat bahwa peranan si penutur (saya) bertautan erat dengan apa yang diucapkannya. Ini berarti, masalah utama yang terkandung dalam ucapan performatif adalah, apakah si penutur mempunyai wewenang (kewajaran atau pantas) untuk melontarkan ucapan seperti itu. Menurut pendapat Austin, kita dapat mengetahui bentuk ucapan performatif ini melalui ciri-ciri berikut:
a)    Diucapkan oleh orang pertama
b)    Orang yang mengucapkannya hadir dalam situasi tertentu
c)    Bersifat indikatif (mengandung pernyataan tertentu)
d)    Orang yang mengucapkannya terlibat secara aktif dengan isi pernyataan tersebut.
Keempat ciri bisa saja dikenakan pada ucapan konstatif, namun penekanan utama dalam ucapan konstatif tidak terletak pada si penutur (subjek), melainkan pada objek tuturan-dalam hal ini peristiwa faktual. Sedangkan dalam ucapan performatif, penekanan utama tetap diletakkan pada si penutur dengan kepantasan dalam pengucapan.
Selanjutnya Jonh Langsaw Austin membedakan tindakan bahasa menjadi 3 yakni:
a)    Tindakan lokusi yaitu tindakan yang tidak mencerminkan tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya.
b)    Tindakan Illokusi yaitu tindakan yang mengharuskan si penutur melaksanakan isi tuturannya.
c)    Tindakan Perlokusi yaitu tindakan yang lebih melihat akibat atau pengaruh yang ditimbulkan oleh isi tuturannya.
Ketiga tindakan bahasa ini selalu dipakai orang (sadar atau tidak) dalam berkomunikasi. Maka perlu pengetahuan dan pemahaman agar tidak keliru dalam menyampaikan sesuatu.