Rabu, 26 Desember 2012

judul penelitian revisi VB


Masitoh
2222101534
Analisis aspek mimetik dalam novel cinta sucib zahrana dan perencanaan pembelajaran di SMPN 1Padarincang

Evi dian Lestari
2222101..24
Analisis kesalahan penggunaan preposisi poada artikel surat kabar radar banten edisi oktober 2012 dan rencana pelaksanaan pembelajaran di SMP VIII

Ratnawati
2222101050
Analisis nilai-nilai pendidikan balada toton greentoel dan perencanaan pembelajaran di kelas X SMA YPA Al-hidayah tahun ajaran 2013

Egi mahbubi
2222101314
Analisis diksi pada novel meretas ungu karya pipit senja sebagai perencanaan pembelajaran menulis di kelas XII SMAN 1 bojonegara

Tia indah pertiwi
2222101021
Analisis kalimat tidak baku pada artikel majalah gaul edisi oktober tahun 2012

Ifa fatmawati
222210147...
Analisis kesalahan tanda baca pada surat kabar radar  banten edisi oktober

Robby adhiatama
2222100866
Analisis  ketidakefektifan kalimat majemuk pada cerita gambar keluarga bobo dalam majalah bobo edisi ... sampai edisi ... tahun 2012 dan rencana pelaksanaan pembelajaran SMP kelas VII tahun ajaran 2012 {edisi menyesuaikan}

Ahdar suhendar

Analisis struktural genetik pada novel laskar pelangi karya andrea hirata dan perencanaan pembejaran di SMAN 1 cibeber tahun 2012

Dita nursetya rahayu
222210144...
Analisis ketidakefektifan kalimat pada papan reklame di kota serang

Fitri cahyani
2222101454
Analisis campur kode pada majalah genie edisi 15 okktober 2012 dan perencanaan pembelajaran di SMA.

Tia apriani
2222100..70
Korelasi kebiasaan penggunaan EYD dengan kemampuan materi EYD di pelajaran bahasa indonesia siswa SMPN 1 kota serang tahun 2012

Tati fatmawati
22220..0515
Analaisis bahasa bermajas bdalam antologi puisi malam adalah jendela karya mahasiswa diksatrasia semester VIII tahun 2012 sebagai bahan pembelajran menuLis satra di SMA

Arip cahyana
2222101..51
Analisis penerapan EYD dalam tugas pembuatan makalah mata kuliah sosiolinguistik dalam perkuliahan mahasiswa program studi bahasa dan sastra indonesia semester V UNTIRTA tahun 2012 dan perencanaan pembelajramn di SMPN 1 karang tanjung kelas VII  tahun 2014

Abdiyah 

Analisis psikologi tokoh ayas dalam novel bumi cinta  karya habiburrahman el-sirazi dan rencana pelaksanaan pembelajaran di SMA kelas X

Enong hunaenah
22221013..3
Analisis psikologi tokoh dahlan iskan dalam novel sepatu dahlan iskan karya krisna pabichara dan rencana pelakasanaan pembelajaran di SMA.

Herlina pratiwi
222210111...
Analisis sosiologi dalam kumcer ‘La rangku’  karya nidu paras erlang dan rencana pelakasanaan pembelajaran SMA

Siti suharyani

Analisis campur kode dalam novel remaja berjudul aku buta, tapi aku melihat karya rahel F dalam kegiatan pembelajaran sastra indonesia siswa  kelas XI SMAN 2 cisauk

Asep Sauma
22221015...4
Analisis unsur Feminisme dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar dan perencanaan pelaksanaan pembelajaran di SMP N 1 Pulosari

fajarwati
2222101046
Analisis unsur psikologi tokoh pada novel danur karya risa saraswati dan perencanaan pembelajaran di SMP.

Yuni wahyuni
2222101616
Analisis unsur intrinsik dalam novel lascar pelangi karya andrea hirata dan perencanaan pembelajaran di SMP.

Inneke ayu s
2222101272
Analisis unsur psikologi tokoh dalam novel lascar pelangi karya andrea hirata dan perencanaan pembelajaran di SMA.

Eka Tiara W
2222100921
Analisis psikologi tokoh dalam novel pocong juga pocong karya iip pirdaus terhadap psikologi pembaca.

Marlin dwi  putranti
2222100887
Analisis psikologi sastra tokoh utama dalam cerpen madre karya dewi lestari dan rencana pelaksanaan pembelajran di SMA.

Desi RS
2222101414
Analisis kesalahan penggunaan preposisi pada opini rakyat harian  Banten Pos edisi 13-15 November 2012.

Fahrul sidik
2222100930
Analisis struktural pada puisi pena jingga karya nur arifin dalam antologi puisi tahun 2008 dan rencana pelaksanaan pembelajran di SMA
Malik AA

Analisis gaya  bahasa pada puisi gadis peminta-minta karya toto sudarto bachtiar dan rencana pelaksanaan pembelajran di SMP



Minggu, 02 Desember 2012

KOHESI GRAMATIKAL



KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN DALAM CERPEN
PEMBELAAN BAH BELA KARYA MOH. WAN ANWAR

A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Kridalaksana dalam kamus Linguistik (2008: 204) mendefinisikan wacana atau 'Discourse' sebagai satuan bahasa yang lengkap, yaitu dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi ataupun terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh seperti novel, buku seri ensiklopedia, paragraf, atau kalimat yang membawa amanat yang lengkap. Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa tersebut dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Selain itu, wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional ataupun interaksional.
Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, wacana dipandang sebagai proses komunikasi antar penyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana terlihat  sebagai hasil  dari pengungkapan ide/gagasan penyapa.  Sedangkan wacana dapat bersifat transaksional artinya wacana  dapat melibatkan satu orang saja sebagai penutur, dan sebaliknya wacana bersifat interaksional artinya wacana dapat melibatkan dua atau lebih penutur. Karena wacana juga dipandang sebagai satuan bahasa yang membawa amanat yang lengkap, maka wacana harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, yaitu prinsip keutuhan (unity) dan prinsip kepaduan (coherent). Artinya, dasar dari sebuah wacana ialah klausa atau kalimat yang menyatakan keutuhan pikiran. Wacana utuh harus dipertimbangkan dari segi isi (informasi) yang koheren sedangkan sifat kohesifnya dipertimbangkan dari keruntutan unsur pendukungnya yaitu bentuk. Wacana yang padu adalah wacana yang apabila dilihat dari segi hubungan bentuk atau struktur lahir bersifat kohesif dan dilihat dari segihubungan makna atau struktur batinnya bersifat koheren. Wacana dikatakan utuh apabila kalimat-kalimat dalam wacana itu mendukung satu topik yang sedang dibicarakan, sedangkan wacana dikatakan padu apabila kalimatkalimatnya disusun secara teratur dan sistematis, sehingga menunjukkan keruntutan ide yang diungkapkan melalui penanda kekohesian.
Dari uraian di atas, jelas bahwa aspek-aspek yang membentuk kohesi di dalam wacana harus berkesinambungan dan membentuk kesatuan struktur teks agar dapat mendukung koherensi. Apabila urutan progresi pada suatu wacana tidak jelas maka akan menyebabkan ambigu dan tidak koherennya suatu wacana. Suatu ujaran yang tidak jelas urutan awal, tengah dan akhir bukan merupakan wacana. Kekohesifan sebuah wacana sangat penting untuk mendukung koherensi. Sebagaimana dinyatakan oleh Halliday dan Hasan (1992: 65) bahwa sumbangan yang penting terhadap koherensi berasal dari kohesi, yaitu perangkat sumber-sumber kebahasaan yang dimiliki setiap bahasa (sebagai bagian  dari metafungsi tekstual untuk mengaitkan satu bagian teks dengan bagian lainnya).
Selain itu, kekoherensian suatu wacana tidak hanya ditentukan dan diwujudkan secara eksplisit lewat aspek kebahasaan yaitu unsur-unsur kohesi. Hal penting lainnya yang mendukung kekoherensian sebuah wacana adalah konteks situasi di luar aspek formal kebahasaan. Halliday dan Hasan (1992: 66) menyatakan bahwa setiap bagian teks sekaligus merupakan teks dan konteks, dalam memusatkan perhatian pada bahasa kita harus sadar akan adanya kedua fungsi itu.
Pemahaman   terhadap    konteks  menjadi  penting   dalam  wacana   karena  pada hakikatnya teks dan konteks merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam wacana itu sendiri. Konteks inilah yang dapat membedakan wacana yang digunakan sebagai pemakaian bahasa dalam komunikasi dengan bahasa yang bukan untuk tujuan komunikasi. Hal ini didukung oleh pernyataan Halliday dan Hasan (1976: 20) bahwa suatu teks tidak dapat dievaluasi tanpa mengetahui sesuatu tentang konteks situasi.
Berdasarkan pernyataan  di atas dapat disimpulkan bahwa kohesi dan konteks memegang peranan penting dalam mendukung koherensi suatu wacana. Penelitian ini dilakukan dalam lingkup pemikiran di atas, yaitu mengkhususkan pada kohesi gramatikal  yang terdapat di dalam wacana tulis, cerpen berjudul Pembelaan Bah Bela karya Moh. Wan Anwar. Tentunya, dalam memahami dan menganalisis unsur kohesi gramatikal dan leksikal tersebut dibutuhkan pemahaman terhadap konteks wacana, khususnya konteks situasi.
Alasan secara umum dipilihnya cerpen sebagai objek kajian adalah bentuk cerpen yang ringkas namun tetap menuntut tingkat kohesi dan koherensi yang tinggi agar tetap berupa satu wacana utuh. Sedangkan alasan secara khusus dipilihnya cerpen berjudul Pembelaan Bah Bela  karena cerpen ini merupakan salah satu karya terbaik dari Moh. Wan Anwar yang ceritanya berisi budaya jawara dalam masyarakat Banten. Pengarang berusaha mengkritisi kuatnya pengaruh para jawara dalam tata kelola pemerintahan maupun kemasyarakatan di Banten.
Selanjutnya, analisis teks dalam penelitian ini akan menggunakan seluruh kalimat yang ada pada wacana cerpen tersebut.  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil analisis yang lebih nyata karena masalah kohesi dan konteks situasi menyangkut masalah ketergantungan unsur-unsur dalam wacana.

2.      Perumusan Masalah
Rumusan permasalahan dari penelitian ini adalah:
1)     Bagaimanakah kohesi gramatikal pengacuan persona  pada cerpen ”Pembelaan Bah Bela”?
2)     Bagaimanakah kohesi gramatikal pengacuan demonstratif  pada cerpen ”Pembelaan Bah Bela”?
3)     Bagaimanakah kohesi gramatikal pengacuan komparatif pada cerpen “Pembelaan Bah Bela”?

3.      Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1)     mendeskripsikan kepaduan wacana yang didukung oleh aspek kohesi gramatikal pengacuan persona pada cerpen ”Pembelaan Bah Bela”;
2)     mendeskripsikan kepaduan wacana yang didukung oleh aspek kohesi gramatikal pengacuan demonstratif pada cerpen ”Pembelaan Bah Bela”;
3)     mendeskripsikan kepaduan wacana yang didukung oleh aspek kohesi gramatikal pengacuan komparatif pada cerpen ”Pembelaan Bah Bela.”

4.      Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian mini ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.
1)     Menambah wawasan bagi peneliti bahasa dalam mengkaji kepaduan suatu wacana dari aspek gramatikal dan leksikal yang mendukungnya.
2)      Hasil kajian ini diharapkan dapat membantu pemahaman mengenai posisi kohesi di dalam wacana dan keterkaitannya dengan konteks.
3)     Bagi penulis, hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa pengetahuan dalam menciptakan sebuah wacana yang utuh dan padu melalui penanda kohesi  gramatikal.
4)     Bagi peneliti lain, hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan khususnya bagi mereka yang tertarik dengan masalah analisis wacana, juga dapat dipergunakan sebagai sumber informasi dan referensi untuk penelitian sejenis.

B.   LANDASAN TEORI
1.     Hakikat Wacana
a.    Pengertian Wacana
Cook (1989: 56) menyebut tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi. Wacana disini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Pendapat tersebut sejalan dengan pernyataan Harimurti (2008: 204) bahwa wacana atau dalam Bahasa Inggrisnya ialah 'Discourse' merupakan satuan bahasa yang lengkap, yaitu dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi ataupun terbesar. Selanjutnya, Kridalaksana (2008:334) juga mempertegas bahwa dalam satuan kebahasaan, kedudukan wacana berada pada posisi besar dan paling tinggi. Hal ini disebabkan wacana-sebagai satuan gramatikal dan sekaligus objek kajian linguistikmengandung semua unsur kebahasan yang diperlukan dalam segala bentuk komunikasi.
Berdasarkan beberapa definisi dan pernyataan tersebut, jelas bahwa wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh. Namun, wacana pada dasarnya juga merupakan unsur bahasa yang bersifat pragmatis. Apalagi pemakaian dan pemahaman wacana dalam komunikasi memerlukan berbagai  alat (piranti) yang cukup banyak. Oleh karena itu, kajian tentang wacanamenjadi wajib ada dalam proses pembelajaran bahasa. Tujuanya, tidak lain, untuk membekali pemakai bahasa agar dapat memahami dan memakai bahasa dengan baik dan benar.

b.    Kohesi Gramatikal
Istilah kohesi mengacu pada hubungan antarbagian dalam sebuah teks yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa sebagai pengikatnya. Halliday dan hasan (1976: 4) menyatakan “The concept of cohesion is a semantic one; it refers to the relations of meaning that exist within the text”. Ini berarti bahwa kohesi itu memungkinkan terjalinnya keteraturan hubungan semantik antara unsur-unsur dalam wacana, sehingga memiliki tekstur yang nyata.
Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Ini berarti bahwa kohesi adalah 'organisasi sintaktik'. Organisasi sintaktik ini merupakan wadah kalimat yang disusun secara padu dan juga padat. Dengan susunan demikian organisasi tersebut adalah untuk menghasilkan tuturan. Ini berarti bahwa kohesi adalah hubungan di antara kalimat di dalam sebuah wacana, baik dari segi tingkat gramatikal maupun dari segi tingkat leksikal tertentu. Dengan penguasaan dan juga pengetahuan kohesi yang baik, seorang penulis
akan dapat menghasilkan wacana yang baik.
Kohesi merupakan konsep semantik yang juga merujuk kepada perkaitan kebahasaan yang didapati pada suatu ujaran yang membentuk wacana. Menurut Halliday dan Hasan (1976:5) kohesi merupakan satu set kemungkinan yang terdapat dalam bahasa untuk menjadikan suatu 'teks' itu memiliki kesatuan. Hal ini berarti bahwa hubungan makna baik makna leksikal maupun makna gramatikal, perlu diwujudkan secara terpadu dalam kesatuan yang membentuk teks. Menurut Halliday dan Hasan lagi: "Cohesion is expressed through the stratal organization of language. Language can be explained as a multiple coding system comprising three levels of coding or 'strata'. The semantic (meaning), the lexicogrammatical (forms) and the phonological and orthographic (expression). Meanings are realized (coded) as forms, and the forms are realized in turn (recoded) as expressions. To put this in everyday terminology, meaning is put into wording and wording into sound or writing."
Halliday dan Hasan (1976:6) memandang kohesi makna itu dari dua sudut, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kedua jenis kohesi ini terdapat dalam suatu kesatuan teks. Kohesi ini juga memperlihatkan jalinan ujaran dalam bentuk kalimat untuk membentuk suatu teks atau konteks dengan cara menghubungkan makna yang terkandung di dalam unsur. Secara lebih rinci, aspek gramatikal wacana meliputi: pengacuan (reference), penyulihan (substitution), pelesapan (ellipsis), dan perangkaian (conjungtion). Sedangkan aspek leksikal wacana meliputi: Repetisi (pengulangan), Sinonim (padan kata) / sinonim dekat, Hiponim (hubungan atas-bawah), Antonim (lawan kata), dan Meronimi (hubungan bagiankeseluruhan).
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Halliday dan Hasan (1976: 6) membagi kohesi menjadi dua jenis, yaitu kohesi gramatikal (grammatical cohesion) dan kohesi leksikal (lexical cohesion). Aspek gramatikal merupakan segi bentuk atau struktur lahir wacana. Aspek gramatikal wacana meliputi pengacuan (reference), penyulihan (substitution), pelesapan (ellipsis), dan perangkaian (conjunction).
Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal
yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Dilihat dari acuannya, pengacuan atau referensi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: (1) referensi exophora (eksofora, situasional), dan (2) referensi endophora (endofora, tekstual). Referensi endofora dapat dipilah lagi menjadi dua jenis: yaitu referensi anaphora (anafora), dan (2) referensi cataphora (katafora).
Referensi eksofora adalah penunjukan atau interpretasi terhadap kata relasi terletak dan tergantung pada konteks situasional. bila interprestasi itu terletak di dalam teks itu sendiri, maka relasi penunjukan itu dinamakan referensi endofora. Referensi endofora anaphora adalah hubungan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya dalam teks. Hubungan ini menunjukan pada sesuatu atau anteseden yang telah disebutkan sebelumnya, atau mengacu anteseden di sebelah kiri. Sementara itu, referensi endofora katafora bersifat sebaliknya, yaitu mengacu kepada anteseden yang akan disebutkan sesudahnya, atau mengacu anteseden di sebelah kanan.
Jenis kohesi gramatikal pengacuan tersebut diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu (1) pengacuan persona, (2) pengacuan demonstratif, dan (3) pengacuan komparatif.
Pengacuan persona menggunakan pronomina persona. Pronomina persona adalah deiktis yang mengacu pada orang secara berganti­ganti bergantung pada “muka”. yang sedang diperankan oleh partisipan wacana. Purwo (1984:22) menuturkan partisipan itu sebagai pembicara (persona pertama), pendengar (persona kedua), atau yang dibicarakan (persona ketiga). Pronomina yang berfungsi sebagai alat kohesi adalah pronomina persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga, baik tunggal maupun jamak, baik anafora maupun katafora. Demikian juga pronomina persona ketiga enklitik  ­nya merupakan alat kohesi wacana.
Pengacuan demonstratif menggunakan pronomina demonstratif. Pronomina demonstratif adalah kata deiktis yang dipakai untuk menunjuk (menggantikan) nomina. Menurut Kridalaksana (2008:134) dilihat dari bentuknya, pronomina demonstratif dibedakan antara (1) pronomina demonstratif tunggal, seperti ini dan itu, (2) pronomina demonstratif turunan, seperti berikut dan sekian, (3) pronomina demonstratif gabungan, seperti di sini, di situ, di sana, (4) pronomina demonstratif reduplikasi, seperti begitu­begitu.
Pengacuan komparatif menggunakan pronomina komparatif. Pronomina komparatif adalah deiktis yang menjadi bandingan bagi antesedenya. Menurut  Rani (2004:104) kata­kata yang termasuk pronomina komparatif antara lain: sama, seperti, serupa, selain, berbeda, dan sebagainya.

c.    Hakikat Cerpen
Abrams (1993: 193) menyatakan bahwa “A short story is a brief work of fiction, and most of the term for analyzing the component elements, the types and the various narrative techniques of the novel are applicable to the short story as well”. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita pendek merupakan wacana fiksi yang ditulis dalam bentuk naratif. Meskipun isinya lebih ringkas dari novel dan bersifat fiktif tapi penulisan cerpen tetap menuntut tingkat kohesi dan koherensi yang tinggi agar menjadi sebuah wacana yang utuh dan padu. Selain itu, aspek kontekstual juga sangat penting dalam memahami suatu cerita pendek. Masalah kohesi dan konteks sosial menyangkut masalah ketergantungan unsur-unsur dalam wacana.

C.    METODE PENELITIAN
1.     Jenis Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang kepaduan wacana yang ditinjau dari
aspek gramatikal  yang melatarbelakangi wacana cerita pendek. Berdasarkan hal tersebut maka jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Menurut Sutopo (2002: 111), penelitian kualitatif deskriptif adalah penelitian yang memusatkan pada deskripsi yang lengkap dan mendalam atas bagaimana dan mengapa sesuatu itu terjadi.
Tahap penyediaan data dilakukan untuk mendapatkan fenomena lingual khusus yang mengandung keterkaitan dengan rumusan masalah. Penyediaan data dilakukan untuk kepentingan analisis. Kemudian, analisis
data dimulai tepat pada saat penyediaan data tertentu yang relevan selesai dilakukan; dan analisis yang sama diakhiri manakala kaidah yang berkenaan dengan objek yang menjadi masalah itu telah ditemukan. (Sudaryanto, 1988:6)

2.       Data dan Sumber Data
Sudaryanto (1988: 9) menyatakan bahwa data adalah bahan penelitian, dan bahan yang dimaksud bukan bahan mentah, melainkan bahan jadi. Dari bahan itulah diharapkan objek penelitian dapat dijelaskan, karena di dalam bahan itulah terdapatnya objek penelitian yang dimaksud. Dengan diolahnya bahan itu diharapkan dapat diketahui hakikat objek penelitian. Jadi, dengan rumusan lain, data pada hakikatnya merupakan objek sasaran penelitian beserta dengan konteksnya.
Data dalam penelitian ini adalah satuan lingual berupa kalimat yang
mendukung kepaduan dan keutuhan wacana cerpen ”Pembelaan Bah Bela” karya Moh. Wan Anwar ditinjau dari kohesi gramatikal berupa referensi. Sumber data dari penelitian ini adalah cerpen berjudul “Pembelaan Bah Bela” karya Moh. Wan Anwar dalam buku kumpulan cerita pendek  berjudul Sepasang Maut.

D.   Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.    Hasil Penelitian
a.    Kohesi Gramatikal Pengacuan Persona
Pengacuan persona dalam cerpen Pembelaan Bah Bela direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang).  Pronomina persona merupakan deiksis yang mengacu pada orang secara berganti-ganti bergantung pada "topeng" yang sedang diperankan oleh pelibat wacana, baik sebagai pembicara (persona pertama), pendengar (persona kedua), atau yang dibicarakan (persona ketiga).
Pengacuan persona yang ditemukan pada data secara keseluruhan berjumlah 185, yang dinyatakan melalui pronomina persona seperti 1) ­ku (orang pertama tunggal); 2) kamu (orang kedua tunggal); 3) ia, dia, ­nya (orang ketiga tunggal); 4) mereka, kami (orang ketiga jamak). Pengacuan persona ini didominasi oleh pengacuan endofora yang bersifat anafora, yakni sejumlah 167 pronomina persona. Kemudian pengacuan endofora yang bersifat katafora sejumlah 18 pronomina persona. Berikut ini contoh pengacuan persona berupa endofora yang bersifat anafora yang ditemukan dalam cerpen Pembelaan Bah Bela.
1)     Adik-adik si Sulung tegang menahan dendam, menunggu gerak ayahnya. (hlm. 48)
2)     Bah Bela menunjuk arah garasi dengan telunjuknya. (hlm.50).
3)     Sebulan setelah mengantar Bah Bela ke sebuah hotel di tepi pantai, saga belum menyaksikan lagi ia berjumpa dengan Bab Kahot. (hlm.50).
4)     Tapi bagaimana kalau si gadis itu dipaksa, diancam, dan karma terlanjur diperkosa ia menuntut tanggung jawab (hlm.56).

Pengacuan endofora yang bersifat katafora, mayoritas unsur acuannya berada pada satu kalimat yang sama dengan unsur kohesinya. Berdasarkan hasil analisis pada data di atas dapat disimpulkan bahwa pengacuan persona endofora yang bersifat katafora dalam wacana cerpen Pembelaan Bah Bela didominasi oleh pronomina persona bentuk orang pertama. Berikut ini contoh pengacuan persona berupa endofora yang bersifat katafora yang ditemukan dalam cerpen Pembelaan Bah Bela.
1)     Memang yang berbuat salah bukanlah dia, tetapi siapa pun tahu berhadapan dengan anaknya sama saja berhadapan dengan Bah Kahot. (hIm.56)
2)     Dan kini, setelah beberapa hari adu mulut dengan ibu dan adik-adiknya, si Sulung  pergi entah kemana. (him. 57)
3)     "Saya  senang Abah terpilih kembali," kata Bah Bela saat itu. (hlm.60)
4)     Salah seorang pengawal  meraih HP yang tergantung di dadanya, Si Somad memijit sejumlah nomor, berkomunikasi dengan seseorang di seberang entah siapa. (hlm.63)
b.    Kohesi Gramatikal Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demonstratif direalisasikan melalui pronomina demonstrativa (kata ganti penunjuk). Pronomina demonstrativa merupakan kata-kata yang menunjuk  pada suatu benda atau deiktis yang menunjuk hal umum, tempat, ataupun ihwal.
Pengacuan demonstratif yang ditemukan dalam wacana cerpen Pembelaan Bah Bela  seluruhnya berjumlah 42, yang dinyatakan dalam pronomina penunjuk umum seperti “ini”, “itu”,  , dan pronomina penunjuk tempat seperti “sini”, “sana”.
Pengacuan demonstratif nominal yang menunjuk dekat dan tidak dekat adalah ini dan itu. Dalam dialog ada kecenderungan pada penutur menggunakan ini untuk menunjuk sesuatu yang diucapkannya sendiri dan itu untuk sesuatu yang diucapkan lawan bicaranya. Berikut ini contoh pengacuan demonstratif yang ditemukan dalam cerpen Pembelaan Bah Bela.

1)     Sayangnya pagi ini tiba-tiba Bah Bela mengurung diri. (hlm.51)
2)     Belum pernah rasanya gelisah memikirkan Bah Bela seperti sekarang ini. (him. 52)
3)     Menurut istri Bah Bela, si Sulung sudah berkali-kali bersaing dengan anak Bah Kahot yang adik bupati itu, terutama dalam mendapatkan proyek di kota ini. (him. 57)
4)     "Saya senang Abah terpilih kembali, " kata Bah Bela saat itu. (hlm.60)
5)     Sementara di aula hotel, di sudut sebelah sana, keriuhan terus bergemuruh tandanya hidup terus berlabuh. (hlm.63)

c.    Kohesi Gramatikal Pengacuan Komparatif
Kohesi gramatikal berupa pengacuan komparatif mengacu pada sesuatu yang sedang sedang dibicarakan, unsurnya dapat berupa generik, seperti: identitas (sama, sama dengan, seperti, identik, dst.), kemiripan (sama, seperti, tambahan, demikian pula, itu juga, dst.) dan perbedaan (yang lain, berbeda dari, sedangkan, dst.), juga yang bersifat spesifik (lebih banyak, lebih sedikit, kurang, lebih jauh, dst.).
Pengacuan komparatif hanya ditemukan 12 data. Adapun unsurnya berupa kata, seperti (8 kalimat), ibarat (2 kalimat), sama saja (1 kalimat), sama dengan (1 kalimat).
Berikut ini contoh pengacuan komparatif dalam cerpen Pembelaan Bah Bela karya Moh. Wan Anwar, yaitu:
1)     Bukankah keluarga Bah Bela tahu sudah sangat lama saling mengenal dan sudah seperti saudara dengan keluarga Bali Kahot? (hlm.53)
2)     Bukankah Bali Bela dan Bah Kahot ibarat cangklong dengan tembakaunya? Ibarat rokok dengan asapnya? Ibarat wafak dengan khasiatnya. (hlm.53)
3)     Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkm mereka yang sejak muda seining jalan, seperti adik-kakak, tiba-tiba bersudutan tajam dalam sebuah perkara. (hlm.53)
4)     Memang yang berbuat salah bukan Bah Kahot, tetapi siapa pun tabu berhadapan dengan anaknya sama saja berhadapan dengan Bah Kahot. (him.56)
5)     la sangat menyayangi si Sulung, tetapi sadar berhadapan dengan Bah Kahot sama dengan membentur tebing tajam terjal terumbu. (hlm.57)

2.    Pembahasan
Dominasi penggunaan aspek gramatikal berupa pengacuan dalam wacana ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Pertama, wacana ini merupakan sebuah wacana naratif yang berciri minimalisme dengan pengungkapan alur cerita yang didominasi oleh penggunaan dialog­dialog singkat, dan dengan tokoh atau karakter yang relatif sama dari awal hingga akhir cerita. Sehingga untuk menghindari penyebutan kembali nama karakter yang sama secara berulang, penulis cerpen lebih banyak menggunakan pronomina persona atau personal pronouns. Selain itu dalam setiap dialog disebutkan siapa yang menuturkan dialog tersebut, sehingga aspek pengacuan persona dapat ditemukan dihampir seluruh kalimat data dalam wacana.
Selain itu, secara khusus alasan penggunaan aspek pengacuan yang mendominasi ini adalah sebagai upaya pengarang untuk memperkenalkan karakteristik dari tokoh-tokoh ceritanya. Dalam cerpen ini pengarang berusaha untuk memperkenalkan karakteristik dari tokoh cerita melalui dialog-dialog minimalis. Hal ini dilakukan dengan cara menyebutkan nomina atau frasa nomina tertentu yang merujuk pada karakter cerita secara berulang-ulang. Penyebutan nomina dan frasa nomina sebagai unsur acuan ini hampir selalu diikuti oleh penggunaan pronomina persona yang merupakan unsur kohesinya.
Jadi, dari hasil analisis  dapat disimpulkan bahwa pengarang ingin pembaca mengenali dan mempelajari karakteristik dari tokoh cerita melalui dialog-dialog singkat tersebut. Dengan kata lain, tanpa melalui komentar dan pendeskripsian yang jelas, pengarang membiarkan pembaca menginterpretasikan sendiri makna cerita dan karakteristik tokoh melalui dialog. Hal ini menyebabkan banyaknya penggunaan pengacuan persona dalam cerpen Pembelaan Bah Bela. Selanjutnya, pengarang juga berusaha mendeskripsikan suasana atau situasi dalam cerita melalui penyebutan beberapa nomina secara berulang-ulang.
Banyaknya jumlah pengacuan endofora bersifat anafora yang mendominasi aspek pengacuan dalam wacana cerpen Pembelaan Bah Bela dapat dipahami karena beberapa alasan, yang pertama, wacana ini berupa cerpen yang tersusun atas dialog-dialog yang saling berhubungan atau memiliki keterkaitan satu sama lainnya, dengan beberapa tokoh/karakter yang relatif sama dari awal hingga akhir cerita, sehingga untuk penyebutan para karakter (setelah penyebutan nama karakter), penulis cerpen lebih banyak menggunakan pronomina persona. Yang kedua, semua pengacuan persona berupa  dalam cerpen ini merupakan pengacuan yang bersifat endofora anafora, yakni unsur acuan atau antesedennya berada di sebelah kiri atau telah disebutkan sebelumnya.
Selanjutnya, pengarang juga berusaha mendeskripsikan suasana atau situasi dalam cerita melalui penyebutan beberapa nomina secara berulang-ulang. Penyebutan nomina secara berulang ini selalu diikuti oleh pelekatan pengacuan demonstratif berupa deiktis “ini” di depan nomina tersebut. Hal ini pula yang melatarbelakangi dominasi dari penggunaan kohesi gramatikal jenis pengacuan demonstratif berupa deiktis “ini” di dalam wacana cerpen Pembelan Bah Bela. Pengarang berupaya untuk mendeskripsikan kepada pembaca bagaimana situasi atau suasana yang terjadi dalam beberapa alur cerita, misalnya ketika salah satu tokoh cerita bernama Bah Kahot  yang secara berulang­ulang disebutkan melakukan beberapa aktivitas di kejawaraan di kota. Dengan cara ini , pengarang  ingin menyiratkan kepada pembaca bahwa Bah Kahot  berusaha menunjukkan kekuasaannya kepada para pengusaha di kota, dengan cara ini juga pembaca dapat memahami dan ikut merasakan situasi ketegangan yang terjadi di kota tersebut.
Dari hasil analisis mengenai wacana cerpen tersebut juga dapat disimpulkan bahwa, memahami sebuah wacana tidak terlepas dari pemahaman mengenai keterkaitan antara teks dan konteks. Analisis wacana ini membuktikan bahwa teks dan konteks adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan dalam sebuah wacana. Hal ini sekaligus membuktikan pendapat dari Halliday dah Hasan (1992: 66) yang menyatakan bahwa setiap bagian teks sekaligus merupakan teks dan konteks, dalam memusatkan perhatian pada bahasa kita harus sadar akan adanya kedua fungsi itu.
Selanjutnya, masing-masing aspek dari kohesi, baik kohesi gramatikal maupun kohesi leksikal, memiliki peran dalam pembentukan sebuah teks dalam wacana, sehingga wacana dapat tersusun secara koheren. Wacana cerpen Pembelaan Bah Bela adalah wacana yang mempertimbangkan hal-hal tersebut, sehingga meskipun berciri minimalisme tetapi maksud dan tujuan yang terkandung dalam cerpen tetap tersampaikan secara jelas. Hal ini kembali membuktikan pendapat Halliday dan Hasan (1976:5) yang menyatakan bahwa kohesi merupakan satu set kemungkinan yang terdapat dalam bahasa untuk menjadikan suatu 'teks' itu memiliki kesatuan. Kohesi gramatikal dalam wacana cerpen ini direalisasikan dalam ke empat jenis piranti aspek gramatikal, yaitu pengacuan atau referensi, penyulihan atau substitusi, pelesapan atau elipsis, dan perangkaian atau konjungsi.


E.   Penutup
Dari deskripsi hasil analisis data maka disimpulkan sebagai berikut:
1)     Di dalam wacana cerpen pembelaan Bah Bela ditemukan tiga aspek kohesi gramatikal berupa pengacuan, yaitu pengacuan persona, pengacuan demonstratif, dan pengacuan komparatif. Pengacuan persona sebanyak 185, yang terdiri atas pengacuan persona bersifat anaforik sebanyak 167 dan pengacuan persona bersifat kataforik berjumlah 18. Pengacuan demonstratif berjumlah 42. Kemudian, pengacuan komparatif hanya berjumlah 12. Apabila dipersentasikan maka dalam kohesi gramatikal referensi  terdapat sebanyak 77% aspek pengacuan persona, 16 % aspek pengacuan demonstratif,  dan 7 % aspek pengacuan konparatif.
2)     Penggunaan kohesi gramatikal  dalam cerpen Pembelaan Bah Bela dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Pada dasarnya penggunaan beberapa aspek dari kohesi gramatikal  yang mendominasi wacana cerpen ini dilatarbelakangi oleh ciri  dalam gaya penulisan cerpen oleh pengarang. Ciri  ini direalisasikan dalam pengungkapan alur cerita yang didominasi oleh penggunaan dialog-dialog singkat. Melalui dialog-dialog singkat inilah, Pengarang memperkenalkan dan mendeskripsikan karakteristik dari tokoh serta situasi dalam cerita. Pendeskripsian karakteristik tokoh dan situasi cerita ini dilakukan dengan cara menyebutkan nomina atau frasa nomina tertentu yang merujuk pada karakter cerita atau nama tempat secara berulang-ulang. Dengan cara ini, Pengarang berupaya memberikan efek kejelasan pada pembaca, serta merepresentasikan situasi cerita yang lebih realistis dan memudahkan pembaca untuk menginterpretasikan alur cerita meski pengungkapannya hanya dalam dialog-dialog singkat.



DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1993. A Glossary of Literary Terms. New york: Harcourt
Brace College Publisher.

Cook, G. 1989. Discourse. Oxford: Oxford University Press.

Halliday, M.A.K & Hasan. 1976. Cohesion in English. London: Longman
House.

Halliday, M.A.K & Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-
aspek bahasa dalam pandangan semiotik sosial. Terjemahan
(1992). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.

Kridalaksana, H. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Deiktis dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.

Rani, Abdul dkk.2004. Analisis Wacana Sebuah Kajian Bahasa dalam
Pemakaian. Malang: Bayumedia.

Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik. Metode dan Aneka Teknik
Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas
Maret University Press.