Selasa, 06 November 2012

poetry : Negeri tropis



Negeri tropis
Oleh : khay’s paradise

Gersang sudah negeri  tropis di ujung jawa
Negeri yang tak habis digerogoti kemarau tinggi
Berbagai srigala nampak turun dari tepi pulosari
Mengaung menyanyikan tembang adat surgawi

Mencari belukar berharap temukan abon sapi

Bila malam berkunjung
Negeri tropis menyelinap malu dibalik sarung ibu
Bila siang menyapa
Negeri tropis berbaring merelakan sisa harga diri

Duh...tropis peace village pipis
Ingin ku terikan namamu dalam mimpiku
Agar srigala kota tak lagi perkosa waktu
Agar kau damai berbaring dalam pelukku
Hingga tanah menemukan ukiran nama besarmu


Senin, 05 November 2012

Analisis Bionarasi ‘Tubuh Terbelah’


Nama              : Iip Pirdaus
Nim                 : 2222100094
Kelas               : VB Diksatrasia
Analisis  Bionarasi ‘Tubuh Terbelah’
Karya : Nandang Aradea
“Bukan sastra jika tak mampu memikat hati, bukan karya bila tak memiliki nilai dan bukan karya sastra bila tak menyimpan sejuta misteri”.
Salah satu karya sastra yang sudah sangat membooming di dunia seni sastra serta memiliki banyak nilai kehidupan yaitu Drama, bagi saya drama merupakan salah satu dari tiga jenis pokok karya sastra dan memiliki peranan penting dalam meningkatkan kemampuan berbahasa dan pelestarian kebudayaan bangsa, selain itu drama juga merupakan karya yang dibuat untuk dipentaskan di atas panggung oleh para aktor. Walau masih ada masyarakat ‘awam’ yang masih menilai drama hanyalah dialog antar aktor, memiliki konflik dan berakhir sedih atau senang namun, bagi para  pecinta satra drama akan dipandang sebagai kunci melahirkan dan menuangkan perasaan dalam hati dari kehidupan nyata ataupun fana.  Sama halnya dengan drama yang di pentaskan TSI (Teater Studio Indonesia ) yang bekerja sama dengan teater Kape Ide Untirta-Serang berjudul bionarasi tubuh terbelah karya sekaligus disutradarai Nandang Aradea ini menyimpan banyak nilai kehidupan yaitu Kehidupan yang menyimpan misteri baik suka duka, asa ataupun rasa disetiap sudut waktunya.
Pementasan Bionarasi “Tubuh Terbelah” ini tidak menggunakan ruang tertutup melainkan terbuka yaitu sebuah lapangan yang di kelilingi pepohonan dan semak belukar dan hanya ada rumah atau saya lebih suka menyebutnya pondok TSI di muka lapang tepat samping jalan dan ini kali pertama saya menonton pementasan dengan ruang bebas napas.
Beranjak dari hal itu, mungkin saya merupakan salah satu penonton yang menyimpan dercak kagum terhadap sutradara sekaligus bingung, bingung karena dari awal pementasan sampai akhir pementasan yang saya lihat hanya aktor yang mirip monster berbaju bambu dan terlihat kotor serta hanya memakai kolor (panjang)  diiringi nyanyian/ wawacan dari Babad  Banten yang ditembangkan dengan langgam pupuh Dangdanggula dan Sinom yang mampu membuat saya merinding  serta terkadang lahir kesan seram bercampur aroma magic. Sutradara selalu cerdas menggunakan simbol, atau petanda-petanda yang jika dikaji lebih dalam makna itu akan tersirat dengan sendirinya, mungkin ini salah satu khas beliau dalam mementaskan sebuah drama, beliau sepertinya selalu ingin setiap penonton mampu menggali,mengkaji, dan memahami pesan yang tersirat di dalamnya.

Dua Tafsir Dalam Bionarasi “Tubuh Terbelah”
Setiap orang memiliki pemahaman,penafsiran dan persepsi berbeda-beda dari apa yan dilihat dan didengarnya, saya pun demikian tentang makna Bionarasi “Tubuh Terbelah”, penafsiran pertama saya bahwa Bionarasi Tubuh Terbelah merupakan gambaran rakyat banten pada masa kolonial belanda memperebutkan kedamaian dari penjajah hal ini terlihat ketika di awal munculnya para aktor memakai baju bambu bak monster yang siap menyerang, lalu mereka melapas baju bambu tersebut dan ada adegan dimana baju bambu itu di miringkan seperti meriam atau senapan yang siap menembak dengan sasaran rakyat banten (Penonton) jelas hal itu merupakan karakter para penjajah/kompeni pada masa penjajahan, mereka tidak melihat keadaan dan kemiskinan rakyat, mereka hanya tahu siapa yang kuat, siapa yang berteknologi tinggi dan siapa yang cerdas dialah yang pantas jadi penguasa, selain itu digambarakan pula sifat gotong royong rakyat banten masa itu, dimana para aktor mengumpulkan batangan bambu menjadi satu kesatuan yang kokoh dan erat oleh ikatan dengan pondasi kuali yaitu pondasi yang nantinya mampu menampung berbagai aspirasi rakyat dengan kekuatan yang di padu oleh kerjasama sebagai simbol kejayaan rakyat banten, bambu itu juga sebagai senjata rakyat banten melawan penjajah dan setelah bambu membentuk sebuah rekayasa bangunan para aktor menaikinya sebagai arti bahwa rakyat berhasil melawan kolonial belanda serta berdirinya bambu utama sebagai symbol menara banten yang sampai sekarang tetap berdiri kokoh.
Selanjutnya, penafsiran kedua saya yaitu Bionarasi “Tubuh Terbelah” menggambaran fenomena kehidupan di era globalisasi seperti sekarang, ada 3 pokok makna yang terlampir dalam gerak/adegan tokoh pada pementasan Bionarasi “Tubuh Terbelah” sebagai tafsir kedua saya, yaitu :
1.      Aktor dengan pakaian bambu menyerupai robot:
Pada adegan ini para aktor berjalan ke berbagai sudut, sekali-kali menaruh baju bambu mereka bahkan ada yang memegang ujung baju bambu itu seperti sedang memegang senapan kaliber tinggi. Dari adegan ini makna yang tertangkap bahwa semakin derasnya sifat rakus orang terhadap kebutuhan tersier yaitu segala hal yang berbau modern dan berteknologi tinggi sebagai ajang  pengenalan diri terhadap orang-orang yang di sekelilingnya serta sebagai alat pemuas batin, selain itu pula terlihat di baju bambu aktor untaian bambu yang dipotong-potong menyerupai rambut, itu gambaran bahwa tidak sedikit manusia sekarang yang melupakan jati dirinya hingga berpecah belah membuat untaian panjang dan kotor terseret nasib dan keinginan yang menggila, mereka itulah yang di pintarkan dengan modernisasi tapi psikisnya menolak keadaan hidup mereka (tertekan).
2.      Salah satu aktor digotong pada satu batang bambu lalu para aktor mengalunkan suara/teriakan/bunyi;
Bagi saya makna yang tersirat dari adegan ini merupakan citraan dari diri manusia yang sudah bosan dengan kehidupan dikelilingi kemewahan namun belum pula mendapatkan kebahagian secara psikis sampai akhir hidupnya sedangkan orang-orang disekeliling mereka juga malah memperebutkan sisa harta dari hidup yang sudah mati bukan belajar dari kamatian untuk hidup. Selanjutnya beberapa oraang sudah melupakan bahasa sebagai jati diri mereka, mereka hanya menggunakan bahasa prokem untuk berkomunikasi antar golongan dan tidak mampu di mengerti orang lain sedangkan bahasa yang biasa mereka gunakan sehari-hari sebagai bahasa nasional, bahasa resmi terlupakan begitu saja.
3.      Aktor menyatukan pelbagai bambu menjadi satu kesatuan dengan satu bambu besar sebagai penopang bambu lainnya dan kuali sebagai pondasi kesatuan bambu tersebut.
Dapat ditafsirkan bahwa diantara manusia yang sudah lupa terhadap bahasa sebagai jati diri mereka dan budaya, masih ada orang yang ingin menyatukannya kembali lewat pelbagai cara agar bersatu kembali dan membuat satu kekuatan (bambu) melalalui ikatan (tali) batin yang terkubur (ruang bambu) dalam hati.
Sudah sempurnakan Bionarasi “Tubuh Terbelah”
Setiap orang akan menilai sesuatu dari pelbagai sudut pandang, jika saya melihat dari sudut pandang A belum tentu orang lain A, sama halnya dengan Bionarasi “Tubuh Terbelah” ini, saya merasa masih terdapat adegan (Alat) yang perlu di perhatikan yaitu: pertama, saat aktor yang menyatukan bambu mengambil bambu utama (bambu besar sebagai penopang bambu lain) memasangkan/menopangkannya untuk bambu lain, bambu tersebut patah karena terlalu kecil ukurnnya dan baru saat dia mengambil bambu lain yang lebih besar ukurannya bambu itu mampu menopang bambu-bambu lain, kedua jika bambu-bambu kecil yang mengelilingi lapangan digunakan sebagai kesan agar lebih hidup pementasan dengan tema maka saya rasa lebih baik menggunakan daun dan ranting-ranting bambu hidup agar lebih hidup lagi namun kalau itu hanya sebagai pembatas antara penonton dengan para aktor, tidak masalah, ketiga pada saat para aktor mengotong satu aktor yang bergelantungan pada satu batang bambu, kenapa hanya di sebagian sudut sehingga penonton lain tidak jelas melihatnya, saya rasa itu akan menghilangkan kesan tertentu pada penonton terhadap pementasan,keempat aktor wanita tidak serempak mengangkat bambu dengan aktor lain yang notabene laki-laki karena mungkin bambu terlalu berat sehingga terkesan kurang kerjasama (lebih di antisipasi).
Beranjak dari hal itu semua, pementasan Bionarasi “Tubuh Terbelah” sudah luar biasa, semoga ke depannya TSI dan Kafe Ide serta babeh ‘Nandang Aradea’ mampu membawa harum nama negeri ini di ajang teater luar negeri ‘jepang’ dan semoga tulisan ini bernmanfaat bagi pembaca.



3 NOVEMBER 2012
  IIP PIRDAUS